KOLERASI TRAGEDY OF THE COMMONS DENGAN PENGGUNAAN KENDARAAN PRIBADI DI JALAN RAYA



Ahmad Musabbihin (041011009)
Mahasiswa pada Departemen Ilmu Ekonomi FEB Universitas Airlangga

Abstract
Congestion problems on the roads common in urban areas. Traffic congestion has caused a very large when we look at. Congestion caused losses due to fuel, loss of productive time residents, owners of public transport losses, and damages health. If a road traffic flow volume was almost close to or exceed the capacity of the road that will lead to a bottleneck, so the trip was not comfortable anymore.
When examined, the bottleneck could be considered a Tragedy of the Commons because the case is almost like. Although the highway is not a resource, the highway has the nature of public goods in which all people can use it without being able to prevent it. So that all the people vying to use it.
This paper is a description of the notion Tragedy of the Commons, correlation jamming with Tragedy of the Commons, and alternatives to reduce congestion. This paper is expected to provide an alternative in accordance with the problem at hand
Keywords: Congestion, Traffic, Tragedy of the Commons
Pendahuluan
Kemacetan merupakan penyakit kronis bagi kota-kota besar. Buruknya kondisi ruang lalu lintas jalan, kondisi kendaraan jenis dilihat dari ukuran, kuantitas (jumlah) dan kualitas kendaraan, perilaku dan kebiasaan pengguna jalan merupakan penyebab terjadinya kemacetan.
Tak sulit untuk tidak meragukan bahwa tingginya jumlah mobil pribadi yang beredar di jalan raya berkorelasi dengan terjadinya kemacetan lalulintas, dengan perkataan lain, semakin banyak jumlah mobil pribadi yang beredar di jalan raya maka semakin tinggi pula tingkat kemacetan lalulintas. Hal ini mempunyai kolerasi dengan Tragedy of The Commons yang dapat digambarkan sebagai sebuah padang rumput yang terbuka untuk semua. Tanpa pengecualian setiap pengembala dapat menjaga beberapa lembunya pada wilayah yang dianggap milik bersama itu. Yang pada akhirnya padang rumput itu rusak akibat daya dukung ketersediaan padang rumput tidak mampu mengimbangi keinginan pengembala-pengembala.
Kemacetan memberikan dampak negatif yang besar baik sosial maupun ekonomi yaitu kerugian waktu, pemborosan energi, keausan kendaraan lebih tinggi, meningkatkan polusi udara, meningkatkan stress pengguna jalan, mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran dalam menjalankan tugasnya. Tingkat kemacetan yang sudah dalam taraf memprihatinkan di wilayah Jakarta diperkirakan juga mengakibatkan kerugian yang diderita seluruh warga Ibu Kota. Jumlahnya mencapai sekitar Rp 28 triliun per tahun (www.kompas.com, 10 september 2009).
Tragedy of The Commons
Tragedy of The Commons dalam istilah lain disebut tragedi kepemilikan bersama, mengacu pada tulisan Garret Hardin dalam Majalah Science edisi 162 yang terbit tahun 1968 yang berjudul” Tragedy of the Commons”. Tragedy of the common (tragedi kepemilikan bersama)” menggunakan kata tragedi sebagai pandangan para filosofi yang sering menggunakannya. “Inti dari drama tragedi ini adalah ketidakbahagian. Ketidakbahagiaannya terletak pada kekejaman dalam bekerja untuk merebut sesuatu. Tragedi Kepemilikan Bersama timbul saat setiap manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup lain. Oleh karena itu, Tragedi Kepemilikan Bersama ini umumnya terjadi pada sumber daya yang merupakan milik umum.         
Tragedi Kepemilikan Bersama adalah suatu pandangan tentang keinginan untuk meraih untung yang banyak untuk kepentingan pribadi daripada membagi-bagikannya kepada manusia lain dan masing-masing mendapat jatah sedikit. Pandangan seperti ini awalnya akan terasa menguntungkan bagi pihak yang memakai banyak sumber daya alam, namun pada akhirnya ketersediaan sumber daya alam akan habis dan justru berdampak negatif bagi pihak yang memakai dan bagi manusia lain.
Tragedy of the common dapat digambarkan sebagai sebuah padang rumput yang terbuka untuk semua. Tanpa pengecualian setiap pengembala dapat menjaga beberapa lembunya pada wilayah yang dianggap milik bersama itu. Seperti pekerjaan yang dilakukan atas alasan memenuhi kepuasan yang tertunda selama berabad-abad karena perang suku, perburuan liar dan penyakit bagi manusia serta hewan liar yang sangat tergantung pada daya dukung-ketersediaan lahan. Akhirnya, bagaimanapun, tiba saatnya perhitungan-perhitungan dengan tujuan memenuhi nafsu untuk keutuhan sosial menjadi kenyataan.
Dalam kaitannya dengan penggunaan jalan raya, secara rasional, setiap orang akan mencari keuntungan yang maksimal. Setiap orang mempunyai hak untuk menggunakan jalan raya dengan menggunakan kendaraan pribadi. Secara eksplisit atau implisiti setiap orang berkata, “Apa manfaatnya untuk saya jika saya atau masing-masing keluarga saya mempunyai satu kendaraan?”
Kemacetan
Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk, misalnya Jakarta.
Permasalahan lalu lintas berupa kemacetan atau kongesti pada umumnya terjadi di kawasan yang mempunyai intensitas kegiatan yang tinggi. Pada jam-jam puncak atau kongesti dapat pula terjadi dikarenakan volume lalu lintas (demand) yang tidak seimbang dengan kapasitas jalan (supply) disamping adanya percampuran moda, dan juga pada saat-saat tertentu seperti hari libur dan hari-hari besar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemacetan lalu lintas yaitu, 1) Faktor Jalan raya (ruang lalu lintas jalan), faktor jalan raya adalah faktor-faktor yang berasal dari kondisi jalan raya itu sendiri. Buruknya kondisi ruang lalu lintas jalan serta sempit /terbatasnya ruang/lahan jalan akan menghambat pergerakan pengguna jalan.
Penyebab buruknya kondisi ruang jalan raya antara lain: adanya kerusakan sebagian atau seluruh ruas jalan, pemanfaatan ruang jalan untuk  urusan yang bukan semestinya atau pemanfaatan yang keliru, misal: jalan digunakan untuk praktek pasar. Terbatasnya lahan jalan dapat diartikan daya tampung (kapasitas) yang rendah dari ruang lalu lintas jalan, disebabkan jumlah kendaraan yang melintas/beredar melebihi daya tampung ruang jalan dan pemanfaatan yang keliru dari ruang lalu lintas jalan.
2) Faktor Kendaraan faktor kendaraan adalah faktor-faktor yang berasal dari kondisi kendaraan yang melintasi di jalan raya. Berbagai hal yang menyangkut kondisi kendaraan bisa berupa: jenis, ukuran, kuantitas (jumlah) dan kualitas kendaraan yang melintas di jalan raya. Misal: jumlah kendaraan yang beroperasi/melintas melebihi daya tampung jalan raya, beroperasinya jenis dan ukuran kendaraan tertentu yang berpotensi memacetkan arus lalu lintas. Mobil (mobil pribadi) memiliki ukuran badan (body size)  yang besar dan populasinya yang besar pula sehingga sangat banyak menyita ruang jalan raya. Banyaknya mobil (mobil pribadi) yang beroperasi di jalan raya pada suatu saat tertentu secara bersamaan akan sangat menyita lahan jalan raya yang memang sudah sangat terbatas. Selain itu, pemakaian mobil pribadi sangat tidak efisien. Yang dimaksud tidak efisien adalah jumlah penumpang (termasuk pengemudi) hanya 1 atau 2 orang di dalam satu mobil.
3) Faktor manusia (pemakai jalan), faktor manusia adalah faktor-faktor yang berasal dari manusia selaku pemakai jalan. Berbagai hal menyangkut manusia antara lain: sikap, perilaku dan kebiasaan (behavior and habit) yang kurang tepat ketika menggunakan jalan raya menyebabkan kemacetan lalu lintas dan membahayakan pihak lain, misal: sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri, tidak mau mengalah, congkak, arogan, menganggap bahwa melanggar aturan berlalu lintas adalah hal biasa serta tidak mengetahui atau tidak mau peduli bahwa gerakan (manuver) nya mengganggu bahkan membahayakan keselamatan pengguna jalan lain, yang berprinsip bahwa kecerobohannya bukan merupakan tanggung jawabnya melainkan menjadi tanggung jawab pihak lain.
4) Faktor Lain, banyak faktor lain selain ketiga faktor (komponen) di atas yang dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas, misalnya: penerapan yang keliru terhadap kebijakan dan undang-undang lalu lintas angkutan jalan, kurangnya jumlah petugas pengatur lalu lintas, demonstrasi, kerusuhan, dan cuaca (hujan deras dan banjir).
Alternatif Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar, tidak dapat dicapai dengan cara-cara yang 'biasa', harus dilakukan upaya-upaya (intervensi) terobosan yang 'tidak biasa'. Agar tingkat kemacetan di kota-kota besar dapat direduksi, maka upaya-upaya terobosan ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh, tidak pilih bulu, tegas dan berani walau berisiko mendapat banyak tantangan dan pertentangan. Upaya-upaya terobosan yang disusun berdasarkan faktor-faktor penyebab kemacetan di atas sebagian besar akan berkonsekwensi/memerlukan adanya perubahan kebijakan (perda) tentang transportasi (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Upaya-upaya itu adalah:
a.      Perbaikan faktor jalan raya.
Prinsip upaya perbaikan faktor jalan raya adalah semua upaya (intervensi) dengan target kepada jalan raya yang bertujuan untuk memperluas lebar jalan dan memperoleh kembali pemanfaatan jalan raya yang selama ini disalahgunakan atau dimanfaatkan secara keliru. Upaya-upaya yang dapat ditempuh antara lain
  • Memperbaiki jalan-jalan yang rusak/berlubang.
  • Memperlebar ruang jalan di ruas-ruas jalan yang masih memungkinkan untuk dilebarkan.
  • Melarang penggunaan jalan dan atau trotoar untuk berbisnis/usaha, misal: bongkar muat barang di tepi jalan, praktek  dagang di trotoar, dan praktek ojek motor.
  • Melarang penggunaan jalan untuk kegiatan pasar.
  • Menertibkan/melarang penggunaan jalan raya untuk area parkir dan tempat mangkal angkutan umum dan ojek sepeda motor.
  • Menertibkan pengemis, pedagang asongan dan anak jalanan beroperasi di persimpangan jalan.
  • Melarang angkutan umum berlama-lama berhenti di pinggir jalan
  • Memisahkan jalur sepeda motor dengan jalur mobil di ruas-ruas jalan tertentu pada hari kerja.
  • Menerapkan sistem "Tarif Jalur Padat" atau semacam Electronic Road Pricing (ERP) yang mengharuskan pengemudi membayar jika melalui ruas jalan raya tertentu pada saat lalu lintas padat.
  • Membuka jalan-jalan tembus yang baru.
b.      Perbaikan faktor kendaraan.
Prinsip upaya perbaikan faktor kendaraan adalah semua upaya dengan target kepada kendaraan yang ditujukan untuk membatasi volume kendaraan yang melintasi jalan raya, memperbesar daya muat orang (penumpang) dan atau barang yang dapat diangkut, dan menurunkan tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor, karena tujuan dari adanya jalan raya adalah untuk memindahkan orang dan barang, bukan kendaraan. Kendaraan hanya sekedar menjadi alat pengangkut.
Upaya-upaya untuk membatasi jumlah dan volume kendaraan, memperbesar daya muat orang dan atau barang hendaknya lebih dikonsentrasikan pada intervensi yang ditujukan kepada kendaraan jenis mobil pribadi dan angkutan umum. Sedangkan intervensi pada pengendara sepeda motor, berupa penerapan peraturan yang lebih ketat, yang melanggar harus ditindak tegas, upaya ini untuk mengurangi kesemrawutan lalulintas dan mengurangi kejadian Kecelakaan Lalulintas.
c.       Perbaikan faktor manusia (pemakai jalan).
Prinsip upaya perbaikan faktor manusia adalah semua intervensi dengan target kepada pemakai jalan (termasuk pengemudi, tukang ojek, tukang parkir, pedagang kaki lima, pejalan kaki dan pemakai jalan lainnya) dengan tujuan utama merubah sikap, kebiasaan dan perilaku (habits and behaviors) yang selama ini secara keliru diterapkan, misal: sikap mementingkan diri sendiri, saling serobot, tidak mau mengalah, congkak, arogan, menganggap pengguna jalan lain sebagai musuh, membuang sampah di jalan raya, dan bila melanggar aturan lalu lintas dianggap sebagai perilaku yang benar dan tidak memalukan.
Untuk merubah sikap, perilaku dan kebiasaan masyarakat tidak semudah membalik telapak tangan tetapi memerlukan waktu panjang dan berkesinambungan. Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui promosi di media elektronik, surat kabar, memberi contoh yang baik disamping menerapkan sanksi tegas (untuk 'shock therapy') bagi para pelanggar terutama pengemudi sepeda motor yang sering kedapatan melanggar aturan lalulintas. Masyarakat tidak akan mudah berubah tanpa adanya intervensi langsung dari petugas, oleh karena itu yang terpenting Petugas/Polisi Lalu lintas sebagai penegak keadilan di jalan raya harus mampu menegakkan keadilan di jalan tanpa pandang bulu.
Kesimpulan
Buruknya kondisi ruang lalu lintas jalan, kondisi kendaraan jenis dilihat dari ukuran, kuantitas (jumlah) dan kualitas kendaraan, perilaku dan kebiasaan pengguna jalan merupakan penyebab terjadinya kemacetan. Tak sulit untuk tidak meragukan bahwa tingginya jumlah mobil pribadi yang beredar di jalan raya berkorelasi dengan terjadinya kemacetan lalulintas, dengan perkataan lain, semakin banyak jumlah mobil pribadi yang beredar di jalan raya maka semakin tinggi pula tingkat kemacetan lalulintas. Kemacetan memberikan dampak negatif yang besar baik sosial maupun ekonomi yaitu kerugian waktu, pemborosan energi, keausan kendaraan lebih tinggi, meningkatkan polusi udara, meningkatkan stress pengguna jalan, mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran dalam menjalankan tugasnya.
Tragedi Kepemilikan Bersama adalah suatu pandangan tentang keinginan untuk meraih untung yang banyak untuk kepentingan pribadi daripada membagi-bagikannya kepada manusia lain dan masing-masing mendapat jatah sedikit. Dalam kaitannya dengan penggunaan jalan raya, secara rasional, setiap orang akan mencari keuntungan yang maksimal.
Untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar perlu memperluas lebar jalan dan memperoleh kembali pemanfaatan jalan raya yang selama ini disalahgunakan atau dimanfaatkan secara keliru, membatasi volume kendaraan yang melintasi jalan raya, memperbesar daya muat orang (penumpang) dan atau barang yang dapat diangkut, dan menurunkan tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor. Karena tujuan dari adanya jalan raya adalah untuk memindahkan orang dan barang, bukan kendaraan. Kendaraan hanya sekedar menjadi alat pengangkut. intervensi dengan target kepada pemakai jalan dengan tujuan utama merubah sikap, kebiasaan dan perilaku (habits and behaviors) yang selama ini secara keliru.
DAFTAR PUSTAKA
Website
id.wikipedia.org
Jurnal dan Buku
Bromley D. et al. 1992. Making the Common Work: Theory, Practice, policy. San Fransisco CA : ICS Press
Gardner, G. T., & Stern, P. C. (1996). Environmental Problems and Human Behavior. Boston: Allyn and Bacon

ANALISIS KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BBM : DAMPAK NEGATIF KEBIJAKAN CEILING PRICE TERHADAP BEBAN SUBSIDI PEMERINTAH

1.      Latar Belakang
Di Indonesia, bahan bakar minyak atau yang kita sering menyebutnya dengan BBM merupakan barang yang sangat berpengaruh terhadap stabilnya perekonomian. Karena naik turunnya harga BBM sangat berpengaruh terhadap perubahan harga-harga barang lain.
Secara mekanisme pasar harga BBM akan menyesuiakan dengan harga minyak dunia. Ketika minyak dunia mengalami kenaikan maka harga BBM akan juga ikut naik. Oleh karena itu diperlukan penetapan harga BBM agar menstabilkan perekonomian. Tidak stabilnya perekonomian bisa membawa kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan.

 
 Gambar 1
Perkembangan Harga BBM di Indonesia 1990-2011 (sumber diolah oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi)
Harga minyak dunia sendiri sering kali mnegalami naik turun. Perkembangan harga minyak dunia sering kali dipengaruhi oleh pergolakan politik atau konflik di wilayah timur tengah yang merupakan salah satu penyedia terbesar cadangan minyak mentah dunia. Dampaknya harga BBM di Indonesia juga mengalami naik turun. Hal ini bisa dilihat di gambar 1.
Pemerintah sebagai pelaku kebijakan mempunyai andil besar dalam berjalannya perekonomian suatu Negara. Untuk mengendalikan harga BBM biasanya pemerintah mengambil kebijakan penetapan harga tertinggi untuk BBM. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah pemerintah diharuskan mensubsidi harga BBM.
Subsidi BBM sangat membutuhkan dana yang besar sehingga akan mengurangi APBN untuk program pembangunan. Pada tahun 2012 Indonesia hingga tutup buku 28 Desember 2012 lalu, subsidi bahan bakar minyak mencapai Rp 211,9 triliun, atau mencapai 154,22% dari pagu subsidi BBM dalam APBN-P 2012 sebesar Rp 137,4 triliun. Pada APBN 2013, Pemerintah dan DPR sepakat mengalokasikan Rp 317,2 triliun untuk program subsidi, dengan rincian Rp 274,7 triliun untuk subsidi energi dan Rp 42,5 triliun untuk subsidi non energi. Dari jumlah Rp 274,7 triliun itu, sebanyak Rp 193,8 triliun untuk subsidi BBM dan Rp 80,9 triliun untuk subsidi listrik (www.setkab.go.id).
Sehingga sangat penting bagi pemerintah untuk berupaya mengerem laju kenaikan subsidi yang nantinya akan berpengaruh terhadap kesehatan APBN. Ketidaksehatan APBN akan menyebabkan dampak negatif pada semua sektor yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat. Upaya untuk mengerem besarnya subsidi salah satunya adalah menaikan harga BBM itu sendiri. Namun opsi ini mudah sekaligus sulit, mudah karena tidak memerlukan waktu yang lama dan tidak ada biaya implisit dan sulit karena ada campur tangan politik dalam keputusan kebijakan dan adanya biaya-biaya eksplisit.
2.      Efek Penetapan Price Ceiling (Harga Tertinggi) BBM
Price Ceiling atau harga tertinggi adalah harga maksimum yang ditetapkan berkenaan dengan menurunnya penawaran barang di pasar. Price Ceiling efektif dalam melindungi konsumen dari gejolak harga yang tak terhingga. Pada price ceiling, harga maksimum terdapat di bawah harga keseimbangan. Dengan menurunnya harga jual, maka permintaan akan meningkat (hukum permintaan).


  Gambar 3.  Analisis grafik Price Ceiling


Gambar 4.
Perkembangan subsidi Energi Indonesia 2006-2011 (sumber diolah : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi)
Pemerintah menetapkan harga BBM menggunakan ceiling price. Hal ini bertujuan menjaga daya beli masyarakat agar tidak turun. Namun dampak dari kebijakan tersebut adalah semakin membesarnya biaya untuk subsidi harga BBM. Hal ini diakibatkan tingginya permintaan terhadap BBM. Sehingga semakin banyak BBM yang dikonsumsi oleh rumah tangga atau perusahaan maka semakin tinggi pula biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk subsidi harga BBM. Hal ini bisa dilihat di gambar 4 di mana dari tahun 2010 dan 2011 subsidi menagalami kenaikan yang signifikan.
Selain itu, subsidi juga membawa dampak naegatif yang lain. Subsidi sangat berpotensi menyebabkan terjadinya kelangkaan, penyelewengan, dan penyelundupan, akibat masih tingginya disparitas harga antara BBM subsidi dengan BBM non subsidi atau harga internasional.
3.      Ketepatan Sasaran Subsidi BBM
Salah satu tujuan pengambilan kebijakan subsidi BBM adalah untuk menjaga daya beli masyarakat agar tidak mengganggu permintaan domestik. Sehingga masyarakat/ rumah tangga dapat membelanjakan pendapatannya dengan aman tanpa khawatir akan terjadi penurunan nilai uang yang besar di masa akan yang datang. Masyarakat dalam segi ekonomi dibagi menjadi 3, yaitu:
1.      Masyarakat kelas bawah, yaitu tingkatan masyarakat yang membelanjakan pendapatannya di bawah USD 2/hari atau sekitar Rp. 20.000 (dua puluh ribu rupiah) per hari.
2.      Masyarakat kelas menengah, yaitu tingkatan masyarakat yang mampu membelanjakan pendapatannya sekitar USD 2 - USD20/hari atau sekitar Rp. 20.000 – Rp. 200.000 per hari.
3.      Masyarakat kelas atas, yaitu tingkatan masyarakat yang mampu membelanjakannya di atas USD 20/hari atau sekitar di atas Rp. 200.000/ hari.
Ketetapan sasaran pemberian subsidi menjadi acuan tercapainya tujuan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat. Namun dalam realitanya ketimpangan pengalokasian sasaran penerima subsidi BBM. Hal ini bisa dilihat di gambar 2, 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 %. Sementara 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah hanya menerima alokasi subsidi sebesar 15%.
Gambar 5
Persentase Kelompok Rumah Tangga Penerima Subsidi (sumber diestimasi dari susenas 2008 dan Bank Dunia 2010)

4.      Beban Subsidi Pemerintah Indonesia
            Dijelaskan di atas akibat kebijakan penetapan harga tertinggi BBM oleh pemerintah maka permintaan BBM cenderung mengalami peningkatan. Akibat dari kenaikan permintaan BBM tersebut maka pemerintah mempunyai beban subsidi yang semakin naik.
Sehingga ketika penetapan harga tertinggi BBM oleh pemerintah semakin jauh di bawah harga normal maka permintaan BBM akan mengalami kenaikan. Dan saat permintaan BBM mengalami kenaikan maka akan semakin besar pula beban subsidi yang akan ditanggung oleh pemerintah.
Untuk mengurangi beban subsidi pemerintah dapat melakukan beberapa cara, yaitu :
1.      Menaikan harga BBM/ mengurangi subsidi BBM
Seperti yang dijelaskan di latar belakang. Opsi ini mudah sekaligus sulit, mudah karena tidak memerlukan waktu yang lama dan tidak ada biaya implisit dan sulit karena ada campur tangan politik dalam keputusan kebijakan dan adanya biaya-biaya eksplisit. Dengan menaikkan harga BBM maka harga akan semakin mendekati harga pasar, dalam artian ketika harga semakin mendekati harga pasar maka beban subsidi pemerintah akan semakin kecil.
2.      Diversifikasi BBM ke BBG
Merupakan upaya untuk mensubstitusi penggunaan BBM ke bahan bakar lain yaitu bahan bakar gas (BBG). Namun program ini membutuhkan waktu yang lama, biaya yang tinggi, dan diperlukan kerja sama dengan swasta agar berjalan dengan efektif dan efisien. Keunggulan dari program ini adalah bagus dalam jangka panjang karena Indonesia merupakan sumber gas terbesar di dunia. Dengan mengalihkan penggunaan BBM ke BBG maka beban subsidi yang ditanggung akan semakin kecil.
3.      Revitalisasi transportasi publik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyerapan alokasi subsidi rumah tangga adalah kendaraan pribadi. Dengan merevitalisasi transportasi publik maka diharapkan akan terjadi perpindahan dari kendaraan pribadi ke transportasi public. Sehingga konsumsi BBM akan dapat diminimalisir.
5.      Penutup
Kesimpulan
Pemerintah menetapkan harga BBM menggunakan ceiling price. Hal ini bertuj\uan menjaga daya beli masyarakat agar tidak turun. Namun dampak dari kebijakan tersebut adalah semakin membesarnya biaya untuk subsidi harga BBM.
Alokasi subsidi BBM yang masih belum merata. Di mana 25% kelompok rumah tangga penghasilan tertinggi menerima subsidi sekitar 77% dan 25%  kelompok rumah tangga dengan penghasilan terendah menerima subsidi sekitar 15%.
Mengurangi beban subsidi BBM harus dilakukan oleh Indonesia. Pengurangan beban subsidi bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: menaikkan harga, diversifikasi BBM ke BBG, dan revitalisasi transportasi public.
Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan melalui karya tulis ini adalah :
1.      Untuk menjaga stabilitas harga BBM memang diperlukan. Namun tetap harus mempertimbangkan dampak negatif dari ceiling price.
2.      Diperlukannya peraturan yang menjawab masalah alokasi subsidi BBM. Diharapkan nantinya tujuan adanya subsidi bisa dirasakan secara luas oleh masyarakat.
3.      Membangun sinergitas dengan swasta dalam perencanaan energi. Diharapkan nantinya pertumbuhan ekonomi tidak bergantung dengan konsumsi BBM.
Daftar Pustaka

Anonim. 2011. Kebijakan Price Floor dan Price Ceiling. Diakses di http://twentytwopm.wordpress.com/2011/11/04/kebijakan-price-floor-dan-price-ceiling/ pada tanggan 1 Mei 2013.

Legowo, Evita H. 2012. Kebijakan Pengaturan BBM Bersubsidi. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.

Mankiw Gregory N. 2004. Principles of Microeconomics, 3rd ed.  Thomson. South Western, USA.

Sekrertariat Kabinet RI. 2013. Menkeu: Realisasi Subsidi BBM 2012 Jauh Lebihi Pagu. Diakses di http://www.setkab.go.id/kawal-apbn-6922-menkeu-realisasi-subsidi-bbm-2012-jauh-lebihi-pagu.html pada tanggal 1 Mei 2013.

 

Buscar

 
IT'S ECONOMIC Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger